Bangun-Jatuh: Dilema Usaha Masakan Jawa Era Kekinian


Pernah mendengar wateg, warung masakan yang seolah khas jawa? Pernah kan? Dimana-mana ada warteg. Namun apakah masakan alias makanan yang disajikan benar-benar berasal dari jawa? Tidak pasti. Karena nyaris hampir sekedar menu makanan harian campuran yang ada dimana-mana. Tidak ada khas jawa yang menonjol dalam warteg.

warteg

Baca: Usaha Kelas Warung Masakan Warteg

Anda orang Jogja? Pernah tidak mendengar warung masakan Jogja? Memang masakan khas jawa juga tersebar di berbagai daerah khususnya di daerah Jawa Barat (jawa pinggiran), tetapi jarang ada makanan yang mempopulerkan warung masakan jawa secara khusus warung masakan jogja.

Hal fakta yang terjadi adalah tersebar warung atau rumah makan khas Minang, Padang dengan ciri khas masakan yang kental dengan minangnya. Padahal kalau diteliti, menu yang dihadirkan cukup sederhana, sama seperti masakan dari daerah yang lain. Memang masakan rendang menjadi unggulan dari beberapa masakan dari daerah lain tetapi untuk yang lain bisa dibilang standar, sama dengan masakan dari daerah lain. Namun kenapa warung padang yang laku tersebar di berbagai daerah dengan ciri khasnya? Bahkan yang mendirikan bukan sekedar orang asli padang, orang dari daerah lain pun mendirikan rumah makan padang.

Hal ini pun diperjelas oleh Ray Setiawan, yang dilansir di Kompasiana.com sebagai berikut:

“....pebisnis kuliner tradisional khususnya makanan jawa seringnya jatuh setelah mewarisi bisnis yang dibangun leluhurnya. Hal ini berbanding terbalik dengan saudara kita dari Minang dengan bisnis warung makan Padang-nya.”

Lebih lanjut Ray menjelaskan hal-hal yang membuat bisnis kuliner masakan tradisional khas Jawa jatuh di tangan generasi penerusnya. Berikut beberapa hal yang membuat jatuh bisnisnya:

1. Tidak Paham Esensi Bahan (Ingredient), Bumbu, Dan Alat Masak

Artinya ada pergantian bahan, bumbu dan alat masak dengan alasan tertentu dengan alasan ketidaktahuan esensi dari hal yang diganti tersebut. Sebagai contoh pembuatan tempe yang sebenarnya dengan menggunakan daun pisang sebagai pembungkus sekaligus dalam proses pembuatan tempe berganti mengganti plastik dengan alasan kepraktisan dan juga mudah untuk didapatkan. Padahal, esensi membuat tempe yang enak, khas adalah dengan menggunakan daun pisang dan selain itu memang memiliki zat pengaya rasa, di antaranya polifenol.

Di daerah Cirebon sendiri masih ada yang mempertahankan pembuatan tempe dengan menggunakan pembungkus daun pisang di tengah-tengah penggunaan dengan pembungkus plastik. Perbandingannnya jelas ada berbedaan yaitu masalah kegurihan. Tempe yang menggunakan daun pisang jauh lebih terasa gurih, empuk seperti daging ayam sayur. Sedangkan yang menggunakan plastik kurang gurihnya dan agak keras sehingga harus dipotong tipis sehingga cocok untuk dibuat goreng tepung tempe yang renyah.

2. Takut Menaikkan Harga

Orang jawa biasanya mengukur berdasarkan perasaan dirinya atas orang lain dengan menimbulkan rasa, bisa dibilang “nge-jawa” (tidak tahu tempat=tidak jawa) alias menunjukkan sikap dengan mengetahui tempat atau lebih tepat bersikap tata kerama, sampai dalam hal penghormatan pada orang terhormat berjalan merunduk ketika mau menghampiri orang terhormat. Hal ini berefek pada gaya berbisnisnya. Karena melekat sikap mengukur perasaan orang lain dengan dirinya yang kebetulan dirinya punya sikap nge-jawa yang tidak pada tempatnya sehingga berakibat tidak mau menaikkan harga di saat penting untuk menaikkan harga. Bisa berupa ucapan, “Aduh, kasihan, yang beli orang kelas bawah seperti kita-kita, kalau naik bisa menyulitkan mereka”

3. Kurang Paham Etika Pelayanan Modern

Ada tidak di berbagai daerah dengan sebutan warung makan padang? Tidak ada kan? Yang banyak beredar mengenai usaha makanan khas padang itu bernama “Rumah Makan Padang”. Apa bedanya warung dengan rumah? Jelas berbeda dalam hal pelayanan. Bila usaha makanan berbentuk warung, maka tampilan seperti yang ada di warteg dengan pelayanan seadanya. Namun bila berbentuk rumah, ya tampilan usahanya akan menghadirkan selayaknya restoran. Dalam hal pelayanan kuliner, usaha makan padang jauh lebih unggul di era modern, yang mampu menembus di berbagai daerah dan kalangan. Sedangkan warung tegal, tersebar tetapi rata-rata masih belum bisa menembus kalangan elit.




0 Response to "Bangun-Jatuh: Dilema Usaha Masakan Jawa Era Kekinian"

Posting Komentar